Ayah…
Dulu ketika kecil aku selalu memanggilmu. Selalu berteriak ayah dan ayah
hingga suara ini parau dan tak mampu lagi berteriak. Tapi kau tak kunjung
datang. Aku hanya dapat menatap iri pada teman – teman. Mereka yang berlarian
dengan sang ayah, berkejaran memperebutkan bola, mereka yang diajari menendang
bola, mereka yang dicandai ayahnya, mereka yang tertawa riang. Dan kalian tau?
Aku disini hanya dapat memandangi iri, tanpa bisa merasakan apa sedang
dirasakan mereka. Aku IRI Tuhan …
Hingga suatu hari aku bertanya pada bunda, ” Dimana ayahku, bunda? “
Bunda tersenyum padaku. Lalu beliau menggendongku, dan membawaku ke halaman
rumah. Sesampainya disana, beliau berkata, ” Ayah disana nak, tenang bersama
Tuhan, ” ucapnya sambil menunjuk ke atas awan.
” Apa ayah bekerja dengan Tuhan, bunda? ” tanyaku lagi pada ibundaku.
Lagi – lagi beliau hanya tersenyum, dan kali ini beliau hanya menjawab
dengan belaian lembutnya di kepalaku, beliau mengecup keningku, lantas
membiarkanku tetap ditempat sementara beliau masuk kembali ke dalam rumah. Tak
lama kemudian aku masuk ke dalam rumah, dan disana aku melihat bunda sedang
menangis. Aku bingung, tapi kemudian aku mengambil kesimpulan
mungkin-bunda-lelah. Aku meninggalkan bunda yang masih menangis.
Kuhampiri teman – temanku yang sedang bermain kelereng di bawah pohon jambu.
Lalu dengan bangganya aku berkata,” Hei, kalian harus tau kabar baik dariku! ”
semua teman – temanku menoleh ke arahku dan mendekat padaku.
Lalu seorang bertanya, ” Kabar baik apa yang kamu punya? “
Aku menyeringai lebar pada mereka. ” Taukah kalian? Ternyata ayahku sekarang
ini sedang bekerja bersama Tuhan, makanya kita ngga pernah lihat ayahku, ”
ucapku bangga pada teman – temanku.
Salah seorang menyahut, ” Berarti ayahmu ada dalam pesawat itu!! ” sahutnya
sembari menunjuk sebuah pesawat yang melintas di udara.
Aku mempercayai perkataan temanku itu. Dan setiap kali ada pesawat yang
melintas aku pasti mendadahinya dan berseru dengan kencang, ” AYAH AKU
MENUNGGUMU DISINI! “
Sampai pada ketika aku duduk di kelas 2 Sekolah Dasar. Hari itu aku belajar
tentang sebuah kematian. Kemudian guru agamaku berkata, ” Kematian adalah akhir
dari segala kehidupan manusia di dunia, dan setelah manusia mati atau
meninggal, dia akan tenang bersama Tuhan … ” aku tersentak mendengar penjelasan
guruku. Aku terus terngiang kata – kata guruku bahwa setelah manusia meninggal
dia akan tenang bersama Tuhan. Aku tidak lagi mendengar penjelasan guruku, yang
ada dalam otakku adalah suara guruku itu yang menyebutkan manusia tenang
bersama Tuhan setelah meninggal.
Saat bel pulang berbunyi, aku langsung berlari pulang ke rumah. Tak lagi ku
pedulikan suara teman – temanku yang mengajakku bermain bola. Tak ku pedulikan
tawaran donat kesukaanku. Yang ada dalam fikiranku saat itu adalah pulang dan
meminta kebenaran tentang ayah. Aku terus berlari dan berlari, tak peduli
dengan nafasku yang terengah – engah, tak ku hapus peluh yang terus mengucur
yang perlahan membasahi baju seragamku. Aku harus sampai rumah. aku harus
bertemu bunda.
Tiba di rumah aku langsung mencari bunda, ” BUNDAAAAA! ” teriakku.
” Bunda di dapur nak, ” sahut bunda.
Akupun menghampiri bunda di dapur. Terlihat sekali wajah bunda yang letih.
Melihatku, beliau tersenyum. Aku mencium tangannya.
” Bunda dimana ayah sebenarnya? ” tanyaku kemudian.
Tidak ada reaksi dari bunda.
” Bunda bohong padaku! Bunda bilang ayah tenang bersama Tuhan, kata guruku
orang yang tenang bersama Tuhan itu orang yang sudah meninggal. Ayah masih
hidup kan bunda? ” tanyaku lagi.
Bunda tetap diam.
” Bunda JAWAB!! ” ucapku marah, ” Ayah tidak meninggal kan bunda? ” suaraku
meluluh.
Lalu bunda memelukku. Aku merasakan airmata bunda jatuh di dahiku. Aku
membiarkan bunda tetap memelukku sementara berbagai pertanyaan muncul di
kepalaku. Perlahan pelukan bunda merenggang. Lalu kuhapus air mata bunda.
” Bunda jangan nangis. Maafin aku tadi marah ke bunda, bunda aku ngga akan
tanya tentang ayah lagi. Janji! ” ucapku.
Bunda tersenyum mendengar ucapanku. Bunda menggendongku ke kamarnya. Lalu
aku ditaruhnya di ranjangnya, sedang beliau mengambil sesuatu di lemarinya.
Selembar foto usang beliau ulurkan padaku. Aku memandangi foto itu.
” Apa ini ayah, bun? ” tanyaku.
Bunda mengangguk. ” Ayah kamu seorang pilot. Tugasnya mengantarkan orang –
orang yang hendak bepergian jauh sampai pada tujuan dengan pesawatnya. Ayah
pernah berjanji akan mengajak bunda mengelilingi dunia bersama. Tapi sayang
pesawat ayah mengalami kecelakaan saat terbang, pesawatnya jatuh ke sebuah
hutan, dan nyawa ayah tidak bisa diselamatkan. Ayah pergi ketika bunda sedang
mengandungmu. Itulah mengapa namamu Tegar, karena bunda ingin anak bunda
setegar namanya, “
Kulihat bunda menangis saat berkata. Akupun ingin menangis melihatnya.
Sekarang aku mengerti apa yang bunda maksud dengan ‘ayah tenang bersama Tuhan’,
sekarang aku tau dimana ayahku. Kuhampiri ibundaku yang kucintai, yang baru
kusadari saat ini bahwa beliaulah satu – satunya harta yang berharga untukku,
kuhapus airmatanya lalu kupeluk tubuhnya, dan aku berkata, ” Bunda jangan
nangis lagi ya … Aku janji ketika aku besar nanti aku akan mengajak bunda
keliling dunia dengan pesawatku seperti janji ayah pada bunda, aku janji bunda!
“.
Aku tau sekarang mengapa namaku Prastegar Indrawan. Pertama Indrawan, agar
aku selalu mengingat ayah dengan nama belakangku yang diambil dari nama ayah,
lalu kedua Prastegar, itu sengaja bunda berikan padaku agar aku bisa menjadi
anak yang tegar walau tanpa sosok ayah dalam hidupku. ” Ayah aku janji akan
menjaga bunda, aku janji akan menjadi kebanggaan ayah, aku janji ngga akan
mengecewakan ayah” ucapku dalam hati.
Sejak hari itu aku bertekad untuk menjadi seorang pilot seperti ayah. Aku
akan membahagiakan bunda, aku akan buktikan pengorbanan bunda tidak akan sia –
sia. Aku juga akan buktikan pada ayah kalau aku bisa membuatnya bangga. Semua
akan aku lakukan untuk membuat mereka senang. Aku tidak akan membuat mereka
kecewa.
Dimulai dari sejak itu akupun menggiatkan diri untuk belajar. Aku mencoba
untuk meraih prestasi. Foto ayah selalu terpajang di meja belajar untuk menjadi
penyemangatku. Bundapun selalu menemani aku belajar walaupun aku tau dia begitu
lelah setelah seharian harus banting tulang mencari nafkah demi aku.
Hari – hari terus kulalui. Sesuai dengan rencanaku banyak sekali prestasi
yang aku raih. Banyak piala dan piagam yang aku dapat. Akupun terbilang anak
yang berprestasi di sekolahku. Tetapi aku belum puas dengan itu semua. Masih
ada satu yang belum aku raih yaitu menjadi seorang pilot lalu mengajak bunda
keliling dunia. Akupun masih terus belajar dengan keras demi meraih cita –
citaku itu.
Dan hari ini sempurnalah sudah semuanya. Aku berhasil menamatkan sekolah
pilotku dan mendapatkan nilai terbaik di angkatan ku. Sungguh aku senang
sekali. Akhirnya apa yang aku dambakan selama ini tercapai juga. Jerih payahku
akhirnya terbayarkan sudah. Tak hentinya aku mengucap syukur.
Hari ini aku diberikan suatu kehormatan memberi sebuah sambutan dalam
wisudaku ini. Pagi sekali aku bangun dan mandi, Tak lupa aku shalat untuk
bersyukur kepada Tuhan. Lalu menyiapkan segalanya untuk nanti.
Waktu itupun tiba, namaku dipanggil ke atas panggung. Hatiku sungguh
berdebar – debar. Tapi kemudian aku berjalan ke atas panggung dengan gagahnya,
dengan jas hitam dan sepatu hitam yang bunda belikan untukku dari jauh – jauh
hari aku berjalan dengan percaya diri. Semua memandangku, begitupun bunda yang
sengaja duduk di barisan kedua dari depan. Wajah tua bunda menampakkan
kebahagiaan.
Sampai di atas panggung, aku langsung mengambil microfon. Sebelum berkata
aku mengambil nafas terlebih dahulu, setelah semuanya terasa lega baru aku
mulai berkata, ” Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua. Pertama,
kita panjatkan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa… ” sungguh aku sangat gugup
dan bingung harus berkata apa dihadapan orang – orang besar seperti itu, ku
lihat bunda tersenyum ke arahku, seakan mendapat sebuah semangat baru aku
langsung melanjutkan, ” Sungguh suatu kehormatan yang sangat mendalam bagi saya
bisa berada di sini. Sesungguhnya saya hanyalah manusia biasa yang mencari jati
diri, yang berusaha meraih mimpi. ” aku menghela nafas sebentar, ” Semua ini
saya dedikasikan untuk ayahanda tercinta. Ayah yang selalu saya tunggu
kepulangannya. Ayah yang selalu saya panggil, saya teriakan. Ayah yang selalu
saya harapkan kemunculannya setiap tangis saya. Ayah yang selalu menjadi
dambaan saya, ayah yang selalu menjadi idola saya. Saya selalu merindukan sosok
tiap malam menjelang tidur saya. Saya selalu berharap, dipagi harinya saya akan
melihat ayah berbaring di samping saya. Tapi ayah tak kunjung datang. Dan saya
hanya menelan kekecewaan saya. Sampai suatu hari saya bertanya pada ibunda
‘dimana ayah?’ dan ibunda menjawab ‘ayah tenang bersama Tuhan’. Saya yang masih
terlalu kecil menganggap hal itu berarti ayah bekerja bersama Tuhan, dan kalian
apa yang saya lakukan setelah itu? Setap kali saya melihat sebuah pesawat
terbang di udara saya akan berlari mengejarnya dan meneriakkan kata ayah.
Hingga pada suatu hari, saya belajar apa itu kematian dan akhirnya saya
menyadari sebuah hal bahwa ayah saya telah tiada, ayah saya telah pergi
menghadap Tuhan. Dan hari itu membuat saya bertekad untuk membuat membuat ayah
bangga pada saya, walau sosoknya tak lagi disini, tapi saya yakin ayah pasti
bisa melihat saya. Dan hari ini saya membuktikan satu hal pada ayah dan semua,
bahwa ibunda saya tercinta yang membesarkan saya sendiri tanpa seorang
pendamping, ibunda yang duduk di depan sana bisa mengantarkan saya sampai saya
bisa menjadi seperti ini. Bunda yang mengajarkan saya tentang kehidupan, bunda
yang menjadikan saya lelaki yang tegar, bunda yang banting tulang demi
kelangsungan hidup kami. Terima kasih bunda atas segala pengorbananmu. Aku
menyayangimu bunda. Ayah aku akan ajak bunda mengelilingi seperti janjimu dulu
ayah. Ayah aku merindukanmu selalu … ” aku menyudahi semuanya. Airmataku telah
mengalir, kulihat bundapun begitu. Tapi aku bangga.
Aku bangga dengan semua yang aku dapat selama ini. Semua tidak akan berjalan
lancar tanpa restu bunda. Dan aku yakin walaupun ayah tak lagi disini, doanya
mengiringi usahaku untuk meraih impianku ini. AYAH BUNDA AKU MENYAYANGI KALIAN
LEBIH DARI APAPUN YANG KUMILIKI DI DUNIA INI …
Untuk ayah tercinta, aku ingin berjumpa
Walau airmata di pipiku
Ayah dengarkanlah, aku ingin bertemu
Walau hanya dalam mimpi …
Penggalan lagu itu cukup mewakili rasa rinduku pada sosok ayah. Entah kapan
aku akan berjumpa dengannya, tapi ayah harus tau, dirimu selalu ada dalam
doaku.